Samandete dan Siklus Banjir yang Tak Berkesudahan

Samandete dan Siklus Banjir yang Tak Berkesudahan

Di sudut utara Konawe, tepatnya di Desa Samandete, Kecamatan Oheo, banjir bukan lagi sekadar peristiwa alam yang datang dan berlalu. Ia telah menjadi ritual tahunan, warisan tak diinginkan yang terus menghantui warga. Setiap kali hujan deras mengguyur, Samandete seolah tenggelam dalam genangan yang tak berkesudahan, memutus akses, melumpuhkan aktivitas, dan menyisakan kepasrahan di wajah penduduknya.

Oleh: Ashari, Direktur Eksplor Anoa OheoSamandete dan Siklus Banjir yang Tak Berkesudahan

Kamis, 20 Maret 2025, langit kembali mencurahkan airnya tanpa henti. Dalam hitungan jam, jalan trans Sulawesi yang membelah desa itu berubah menjadi sungai dadakan. Air naik hingga 60 sentimeter, menelan aspal, memaksa warga dan para pelintas mencari cara untuk tetap bergerak. Rakit tradisional, pincara kembali beroperasi, didayung oleh tangan-tangan cekatan yang telah terbiasa menghadapi kenyataan ini.

Di tengah riak air yang tak kunjung surut, Pemkab Konut bersama jajaran pemerintah daerah turun tangan. Mereka meninjau lokasi, mendirikan posko siaga bencana, memastikan bahwa masyarakat tidak sendirian dalam menghadapi musibah ini. Namun, bagi warga Samandete, kedatangan pejabat bukan hal baru. Mereka tahu, begitu air surut, perhatian pun perlahan menghilang.

Banjir kali ini bukan yang pertama, dan nyatanya tidak akan menjadi yang terakhir. Setahun sebelumnya, pada Mei 2024, hujan deras membuat Sungai Lalindu dan Lasolo meluap, menenggelamkan jalan trans Sulawesi di desa ini. Air kala itu naik lebih dari dua meter, menenggelamkan kendaraan, dan lagi-lagi, pincara menjadi satu-satunya penyelamat.

Berbagai upaya telah dilakukan. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) memasang lampu sorot untuk membantu pelintas menghadapi malam di tengah genangan. Pemerintah daerah juga berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, merancang peningkatan infrastruktur jalan yang diharapkan bisa meredam dampak banjir. Namun, sampai kapan janji-janji itu akan berubah menjadi kenyataan?

Sementara itu, di tengah arus yang terus mengalir, masyarakat Samandete tetap bertahan. Kepala desa dan warganya sigap membantu siapa pun yang terjebak, bahu-membahu menyelamatkan kendaraan, menopang satu sama lain dalam pusaran air yang tak kunjung reda. Semangat gotong royong menjadi tameng terakhir di hadapan ketidakpastian.

Banjir di Samandete bukan sekadar air yang menggenangi jalan. Ia adalah cerminan dari tantangan yang lebih besar: perubahan iklim yang semakin ekstrem, tata kelola lingkungan yang terabaikan, serta janji-janji pembangunan yang sering kali tak berakar di tanah yang mereka pijak.

Selama solusi nyata tak kunjung hadir, Samandete akan tetap berada dalam siklusnya menghadapi banjir, bertahan, dan menunggu kepastian yang entah kapan akan datang.

Apakah banjir bagi warga setempat adalah doa yang terkabul? Secara ekonomis, bagi sebagian orang, banjir mendatangkan berkah, membuka pintu rezeki dari jasa penyeberangan pincara. Namun, bagi pengguna jalan, banjir adalah siksaan, memaksa mereka merogoh pundi agar tak kebasahan. Ataukah, banjir ini justru menjadi ladang bagi pemerintah untuk menunjukkan kepeduliannya pada rakyat?

Entahlah. Yang jelas, air tetap mengalir, waktu terus berjalan, dan Samandete masih menunggu solusi yang belum jua tiba. (redaksi).

Pos terkait