Skandal Tambang Ilegal di Kolaka Utara Rugikan Negara hingga Ratusan Miliar Rupiah

Skandal Tambang Ilegal di Kolaka Utara Rugikan Negara hingga Ratusan Miliar Rupiah
Ilustrasi

KENDARI- Kejahatan pertambangan kembali mencuat di Sulawesi Tenggara. Kali ini, praktik ilegal tersebut terjadi di Kabupaten Kolaka Utara (Kolut), melibatkan tiga perusahaan tambang. PT Alam Mitra Indah Nugrah (AMIN), PT Kurnia Mining Resource (KMR), dan PT Pandu Citra Mulia (PCM). Ironisnya, aksi mereka juga diduga didukung oleh oknum pejabat di Syahbandar Kolaka.

Hal ini diungkap oleh Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sultra, Iwan Catur Karyawan. Ia menyebutkan bahwa dugaan kejahatan ini berjalan secara terorganisir sepanjang tahun 2023, dengan masing-masing perusahaan memainkan peran berbeda.

PT AMIN, yang beroperasi di Desa Patikala, Kecamatan Tolala, diketahui mendapat kuota produksi dan penjualan nikel sebanyak 500.004 metrik ton dari Kementerian ESDM. Namun, dokumen resmi yang mereka miliki justru digunakan untuk menjual nikel ilegal yang berasal dari wilayah pertambangan PT Pandu, padahal izin usaha pertambangan (IUP) PT Pandu sudah lama dicabut.

“Dokumen milik PT AMIN disalahgunakan untuk melegalkan ore nikel ilegal dari PT Pandu. Padahal, secara hukum PT Pandu sudah tidak boleh melakukan aktivitas apa pun,” jelas Iwan Catur.

Peran PT Kurnia Mining Resource dalam kasus ini adalah menyediakan terminal umum (Termum) sebagai tempat keluar masuknya ore nikel yang dijual seolah-olah berasal dari PT AMIN. Untuk memperlancar proses itu, Kepala Syahbandar Kolaka diduga ikut terlibat dengan membantu pengurusan izin penggunaan terminal, meski secara resmi izin dari Dirjen Perhubungan Laut tidak pernah diterbitkan.

“Meski tidak ada izin resmi, Kepala Syahbandar tetap mengizinkan tongkang milik PT AMIN untuk berlayar dari terminal milik PT Kurnia. Ini jelas bentuk penyalahgunaan kewenangan,” tambahnya.

Hingga saat ini, Kejati Sultra telah menetapkan empat tersangka. Diantaranya, Direktur Utama PT AMIN (MM), Kuasa Direktur PT AMIN (MLY), Direktur PT BPB (ES), serta Kepala Syahbandar Kolaka (SPI). Tiga tersangka pertama telah ditahan, sementara Kepala Syahbandar belum ditahan karena dinilai kooperatif sebagai aparatur sipil negara.

“Setiap tersangka punya peran kunci. MM memberi persetujuan atas aksi ilegal ini, ES dan MLY mengatur kerja sama penggunaan terminal, dan SPI memuluskan proses pengiriman ore tanpa izin resmi,” ungkap Iwan Catur.

Berdasarkan penyelidikan awal, kerugian negara ditaksir mencapai Rp 100 miliar, dan jumlah ini berpotensi meningkat hingga Rp 200 miliar. Perhitungan final masih menunggu audit dari pihak independen yang telah ditunjuk.

“Proses penyidikan masih terus berjalan. Ada beberapa pihak yang belum memenuhi panggilan, dan jika perlu, kami akan lakukan pemanggilan secara paksa,” tegasnya. (redaksi)

Pos terkait