LASUSUA, Kasus dugaan persetubuhan anak dibawah umur oleh tersangka pria inisial A yang sedang ditangani pihak kepolisian dinilai terdapat sejumlah kejanggalan. Kuasa hukum A menyampaikan keberatan karena merugikan kliennya.
Dalam keterangan persnya, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Himpunan Advokat Muda Indonesia (LBH HAMI) Kolut, Suparman mengaku tidak terimah atas penetapan A sebagai tersangka usai dilaporkan pada 8 Juni 2024 ke Polres Kolut oleh istrinya inisial R.
“Kami menolak pernyataan Pihak Polres Kolut di sejumlah media yang menyatakan A melakukan persetubuhan anak dibawah umur dan dijadikan tersangka,” tegasnya, Kamis (15/8/2024).
Alasannya, A sebelumnya dilaporkan istrinya atas dugaan tindak pidana menikah tanpa izin sesuai Pasal 279 (1) KUHP yang berdasarkan Laporan Pengaduan No: DUMAS/13/VI/2024 /Res Kolut/ Sek Batuputih 8 juni 2024. Namun status perkara itu kemudian berubah menjadi Pasal 81 (2) sub Pasal 81 (1) Jo Pasal 76 D UU No 17 tahun 2016 Ttg Perubahan ke-2 atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU Jo Pasal 64 (1) KUHP.
A disampaikan telah mengakui lakukan hubungan intim dan menikah secara siri dengan korban hingga melahirkan anak dari hubungan gelapnya. Keduanya dikatakan saling menyukai dan menjadi dasar R melaporkan suaminya.
Sementara itu, korban juga mengaku jika ia melakukan hubungan gelap pada Oktober 2023 yang mana saat itu berusia 18 tahun. Hal itu sebagaimana akta kelahirannya menunjukkan jika ia lahir pada 12 Oktober 2005.
“Saat ini berusia 19 tahun. Jadi usia 18 tahun itu telah dewasa untuk bertanggung jawab dan mengambil keputusan atas dirinya termasuk mengambil keputusan dalam hal keperdataan,” terangnya.
Pihaknya menegaskan jika perkara tersebut merugikan kliennya baik dari aspek pemberitaan dan hak hukumnya terhadap pasal yang disangkakan tanpa didampingi penasihat hukumnya saat diperiksa.
“Penyidik enggan memberikan BAP kepada tersangka maupun kepada kuasanya yang harusnya menjadi hak tersangka,” ucapnya.
Suparman juga mengatakan jika korban dan keluarganya tidak pernah merasa jadi korban. A dianggap telah bertanggung jawab baik secara moral dan baik agama.
“Kami anggap penyidik tidak menerapkan asas keseimbangan dalam menegakkan hukum. 2 kali kami bersurat untuk meminta dilakukan gelar perkara ulang tetapi tidak pernah di tanggapi hingga kami akan melakukan upaya hukum lainnya,” tutupnya.