Oleh: Ahmad Habibi M, SH ( Kasi Pidum Kejari Kepulauan Sangihe )
Hukum pidana adalah instrumen hukum publik yang memiliki daya paksa sangat kuat, hal tersebut dimaksudkan karena terdapatnya kepentingan negara dalam menjamin terselenggaranya tatanan sosial masyarakat yang baik, serasi, selaras dan seimbang. Pembinaan hukum nasional pada dasarnya telah diakomodir melalui adanya kementrian Lembaga yang ada, yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang dikenal dengan KUHAP.
KUHAP sendiri merupakan instrument hukum acara yang dijadikan pedoman untuk menjalankan hukum pidana materil. Contohnya Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Perlindungan Anak, dan lainya. Sejarah terbentuknya sistem hukum di Indonesia sendiri berasal dari sistem hukum Belanda yang merupakan turunan dari sistem hukum Perancis atau dikenal dengan istilah sistem hukum Eropa Continental atau civil law.
Sistem hukum civil law ditandai dengan adanya kodifikasi hukum yang bersifat nasional dan bersumber pada satu sistem pidana yang sama. Artinya, sistem pembentukan hukum hanya dibentuk melalui perangkat legislasi nasional yaitu Lembaga legislative Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pada era lampau, hukum pidana dimaksudkan untuk melakukan penjeraan agar para pelaku tindak pidana merasa kapok dan enggan melakukan kejahatan dikemudian hari. Namun, ternyata terkadang dalam praktek justru para mantan narapidana tidak lantas serta merta kapok.
Oleh karenanya sering ada berita-berita baik pada media masa, media televisi maupun media online adanya pelaku-pelaku tindak pidana yang mengulangi kejahatan atau dikenal dengan Residive. Keadilan yang semata-mata memenjarakan orang tersebut dikenal pula dengan istilah keadilan retributive.
Dalam beberapa sisi keadilan retributive efektif memberikan penjeraan namun dalam beberapa sisi memiliki dampak sosial yang besar dimana masyarakat tidak sepenuhnya dapat terpenuhi rasa keadilannya.
Hal ini seringkali menuai kontroversi bahkan sampai muncul istilah hukum tajam ke bawah sementara tumpul ke atas. Dinamika dan perkembangan hukum sangat cepat berubah. Hukum yang pada dasarnya sebagai salah satu instrument social engineering kemudian dalam prakteknya menuai banyak kritik.
Sikap kritis masyarakat tersebut dimaksudkan sebagai trigger agar aparatur negara (penegak hukum) lebih menjunjung tinggi kepekaan sosial daripada hanya memandang lurus aturan hukumnya.
Pada era kekinian, munculah adanya terobosan hukum yang dikenal dengan restorative justice yang merupakan respon dari penegak hukum dalam hal ini Jaksa Agung Republik Indonesia. Pedoman atas penerapan restorative justice kemudian dituangkan dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Restoratif justice sendiri hadir untuk penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku dan pihak lain yang terkait. Hal ini diharapkan agar bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Sebelum muncul upaya restorative justice, pada dasarnya telah diterapkan sistem serupa pada Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Maksud restorative dalam Undang-Undang SPPA tertuang dalam Pasal 1 Angka 6 juncto Pasal 5 ayat (1).
Upaya restorative dimaksudkan atau ditempuh guna mencapai keadilan yang bermanfaat bagi semua pihak baik korban maupun pelaku sehingga hukum tidak lagi menimbulkan bahaya laten berupa dendam, terganggunya tatanan sosial dan bahkan yang berdampak pada kondisi ekonomi.
Penerapan restorative justice yang sukses dalam SPPA selanjutnya mengalami perluasan yang mana merupakan terobosan hukum dari Jaksa Agung RI Prof. Dr. ST. Burhanuddin. Sebagai Jaksa Agung (Prosecutor General), beliau menganggap perlu adanya upaya pencapaian keadilan yang bermanfaat dalam semua tindak pidana tanpa terkecuali.
Kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin selanjutnya mengeluarkan pedoman dengan membatasi aturan yang tegas. Maksudnya jelas agar keadilan restorative mampu memberikan manfaat bagi semua pencari keadilan dan mempertegas bahwa hukum tajam ke atas dan tumpul ke bawah itu keliru.
Jaksa Agung merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam penegakan hukum (penuntutan) sebagaimana azas dominus litis atau pengendali perkara sehingga jaksa agung memiliki kewenangan dalam menentukan layak atau tidaknya suatu perkara dibawa ke pengadilan.
Dalam penerapan restorative justice di Kejaksaan RI berbeda dengan instansi lain karena pada dasarnya tindak pidana yang ada telah memenuhi cukup bukti dan syarat formil maupun materil. Sementara pada instansi lain hanya bersifat perdamaian dengan melakukan pencabutan surat aduan atau laporan pidana.
Perbedaan mencolok seperti ini menegaskan jika jaksa agung merupakan pemegang kekuasasaan tertinggi penegakan hukum yang telah menerapakan kewenangan tersebut dengan pertimbangan berbagai hal baik ipoleksosbudhankam.
Penerapan restorative justice kejaksaan bukan berarti membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana. Karena pada dasarnya terbukti melakukan tindak pidana maka dicarikan solusi dengan cara mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali dan bukan pembalasan.
Upaya ini dimaksudkan agar tidak terjadi pengulangan keadaan seperti pada kasus nenek Minah yang mencuri 3 buah kakao, kisah kakek Samirin yang mencuri getah karet senilai tujuh belas ribu rupiah dan Anjol Hasim dan Jamilu Nani yang menebang pohon bambu.
Seharusnya permasalahan seperti itu dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan bukan lantas harus dimeja hijaukan.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan memperhatikan kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi, penghindaran stigma negatif, pembalasan, respon dan keharmonisan masyarakat serta kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sebagaimana dapat dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif dalam hal terpenuhi syarat tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
Syarat dan ketentuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif juga berdasarkan pada pemulihan kembali pada keadaan semula oleh tersangka dengan cara mengembalikan barang kepada korban, mengganti kerugian dan biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana serta kesepakatan damaian keduanya.
Sepanjang 2021, Jaksa Agung RI telah melaksanakan restoratif justice lebih dari 313 perkara. Hal ini direspon positif masyarakat dan mencapai tingkat kepuasan pelayanan public dibidang hukum. Pelaksanaan restorative justice diawasi secara ketat secara berjenjang. Bahkan secara tegas, Jaksa Agung RI telah memberikan warning agar jaksa-jaksa di daerah tidak bermain-main terhadap keadilan restoratif.
Kejaksaan RI berharap agar masyarakat senantiasa melakukan pengawasan bersama dan turut mengawal keadilan restoratif ini demi kemajuan bangsa dan negara khususnya dalam rangka mensukseskan pembangunan hukum nasional yang berwawasan sosial dengan mengedepankan HAM. Jaksa Agung RI ST Burhanuddin berpesan, rasa keadilan itu tidak ada di buku, KUHP atau KUHAP. Rasa Keadilan itu ada di hati masyarakat dan wajib bagi seorang jaksa untuk selalu mempertimbangkan rasa keadilan yang ada di masyarakat. (*)