WANGGUDU_ Pulo Mapara di Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara kini dalam bidikan pengembang pariwisata. Pulau yang berada digugusan pulau Labengki besar menyimpan sejumlah panorama alam yang tak ternilai.
Dibalik keindahan alamnya, terdapat hak tanah masyarakat bajo yang terancam tersandera oleh pihak pengembang pariwisata. Pasalnya, lahan masyarakat bajo yang telah digarap puluhan tahun harus terancam dilepaskan pada pengembang pariwisata.
Dalilnya, tanah dilokasi tersebut masuk kawasan konservasi sumber daya alam. Alasan regulasi memupuskan harapan pemilik lahan untuk menggarap tanah mereka, yang telah membantu perekonomian warga sejak puluhan tahun. Bahkan puluhan tanaman kelapa yang telah berusia puluhan tahun terancam diganti rugi dari pihak pengembang dengan angka yang tak beradab.
“Berbagai tantangan yang dihadapi rakyat terkhusus masyarakat pesisir adalah sektor pengembangan pariwisata. Masyarakat setempat merasa tidak nyaman, terintimidasi dengan ancaman kehilangan pekerjaan. Lahan dan kedudukannya dirampas paksa, dibujuk hingga ditekan untuk meninggalkan tempat yang dimana objek itu di miliki secara turun temurun,”ujar Direktur Explor Anoa Oheo Indonesia, Ashari, (29/8/2023).
Ashari mengatakan, Taman Wisata Alam Laut (TWAL) teluk Lasolo seluas 72.660 hektar merupakan rahmat illahi yang menyimpan jutaan pesona alam. Keasriannya mesti dipertahankan dan akan baik ketika menjadi suatu objek wisata sejalan dengan kearifan lokal.
“Sebelum ditetapkan teluk Lasolo sebagai kawasan TWAL. Dulu, areal itu sebagai kawasan perekonomian masyarakat bajo layaknya sebagai benteng pertahanan keberlangsungan hidup,”jelas Ashari.
Ashari menilai ada oknum atau segelintir pihak yang mengklaim bila lahan tersebut bukan milik masyarakat. Bahkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) pun tidak memiliki hak yang sifatnya memaksa untuk mengklaim sekalipun menjadi kewenangannya.
Peraturan Menteri Kehutanan nomor 22 tahun 2012 tentang pedoman kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam laut pada hutan lindung. Rujukan ini mestinya menjadi pegangan guna menciptakan kolaborasi dan sinergitas antara pengusaha dan masyarakat adat setempat
“Kami menilai ada upaya percobaan perampasan hak perkebunan kelapa diareal Pulo Mapara Labengki besar milik Haji Ance. Hampir sama riwayatnya dengan seorang kakek tua Haji Summung pada tahun 2017 silam. Tempat penangkapan ikan miliknya di Pulo Mauwang harus mengalah meninggalkannya karena dengan rasa tekanan,”tegas Ashari.
Ashari berpendapat kejadian seperti ini tidak boleh terjadi. Seharusnya, pengembang wisata mesti menjadi terdepan menjaga kearifan lokal, bukan dengan praktek intimidasi. BKSDA Sulawesi Tenggara semestinya hadir menengahi, bukan ikutan melegalkan dengan dalil investasi dan mengabaikan hak ulayat masyarakat bajo.
“Diplomasinya harusnya terukur, negosiasi tanpa tekanan. Supaya lahir solusi yang benar-benar mufakat. Jika usaha wisata tak memenuhi ketentuan, maka mendatangkan tamu juga menjadi ilegal. Keluarga Haji Ance tidak sendiri, kami pun pastikan hadir mendampingi mereka,”pungkasnya. (red)