KONAWE SELATAN, PIKIRANSULTRA.COM- Ketegangan di akar rumput terus membara di Konawe Selatan. Konflik agraria yang melibatkan masyarakat dan sejumlah perusahaan besar kini tak lagi bisa diabaikan. Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (PUSPAHAM) Sulawesi Tenggara menyatakan keprihatinan mendalam atas eskalasi konflik tanah yang semakin meluas dan mengancam kehidupan masyarakat lokal.
Di banyak wilayah transmigrasi dan desa-desa adat seperti Rakawuta, Trans Arongo, Tolihe, Amohola, Angata, dan Lalonggombu, masyarakat menghadapi ketidakpastian atas tanah yang telah mereka kelola bertahun-tahun. Lahan mereka kini tumpang tindih dengan konsesi perusahaan, klaim kawasan hutan negara, bahkan ada yang terlibat dalam konflik berkepanjangan dengan institusi negara seperti TNI AU di Ranomeeto. Di balik berbagai nama besar perusahaan PT. Tiran, PT Bosowa, PT Kilau Indah Cemerlang, PT Ifishdeco, PT Kapas Indah Indonesia, PT, Merbau Indah Raya, PT Marketindo Selaras, dan lainnya tersimpan ketidakadilan yang dirasakan warga kecil yang kehilangan hak hidupnya.
Di tengah derasnya konflik ini, Bupati Konawe Selatan, Irham Kalenggo memilih menerbitkan sejumlah surat imbauan. Antara lain Surat No. 600.3/ tertanggal 21 Juli 2025 tentang himbauan penyelesaian sengketa antara masyarakat Tani Angata vs PT. SMB, PT. BMP, dan PT. Marketindo Selaras melalui jalur hukum formal. Termasuk Surat No. 500.8/2741/ tertanggal 10 Juni 2025 tentang penghentian sementara aktivitas PT. Marketindo Selaras.
Salah satunya mendorong masyarakat dan perusahaan menyelesaikan sengketa lewat jalur hukum formal, sementara surat lainnya berisi penghentian sementara aktivitas perusahaan. Namun bagi PUSPAHAM, langkah administratif ini dinilai tidak cukup. Surat-surat tersebut dianggap tidak menyentuh akar permasalahan dan justru bisa memberi ruang legitimasi bagi dominasi korporasi.
“Masalah agraria tidak selesai dengan imbauan sepihak. Yang dibutuhkan adalah ruang dialog sejati, keterlibatan semua pihak, dan keberanian politik untuk membela rakyat,” tegas Kisran Makati, Direktur PUSPAHAM Sultra.
PUSPAHAM mendorong agar pemerintah daerah tidak lagi menghindar dari mandat konstitusional. Salah satu langkah penting adalah pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018. GTRA bukan sekadar forum koordinasi, melainkan mekanisme nyata untuk menata ulang ketimpangan struktur agraria. Di dalamnya harus terlibat semua unsur pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan terutama warga yang terdampak langsung.
Menurut PUSPAHAM, pembiaran negara terhadap ketimpangan ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Hak atas tanah bukan hanya soal administrasi pertanahan, melainkan bagian dari hak hidup dan keadilan sosial, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, Undang-Undang tentang HAM, serta prinsip-prinsip internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
PUSPAHAM menyerukan langkah-langkah konkret pembentukan GTRA Kabupaten Konawe Selatan secara inklusif, audit menyeluruh terhadap perizinan yang beririsan dengan wilayah permukiman dan kelola masyarakat serta peninjauan ulang izin perusahaan yang terbukti melanggar hukum atau merampas hak warga. Di saat bersamaan, segala bentuk kriminalisasi terhadap petani dan warga yang memperjuangkan hak tanahnya harus segera dihentikan.
Keterlibatan aktif Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Desa juga dinilai penting dalam menyelesaikan konflik agraria, terutama di wilayah-wilayah transmigrasi dan kehutanan yang selama ini terabaikan.
“Kalau penyelesaian terus ditunda, yang kita hadapi bukan lagi konflik lahan biasa, tapi krisis keadilan. Negara tidak boleh netral dalam ketimpangan. Pemerintah harus berdiri di sisi rakyat,” tutup Kisran. (redaksi)





