PUSPAHAM: Kawal Keputusan Bupati untuk Keadilan Agraria di Konawe Selatan

PUSPAHAM: Kawal Keputusan Bupati untuk Keadilan Agraria di Konawe Selatan

Konawe Selatan, Keputusan Bupati Konawe Selatan, Irham Kalenggo yang menerbitkan Surat Keputusan Nomor 50081/2741 pada 10 Juni 2025 tentang penghentian sementara aktivitas PT Marketindo Selaras (MS), disambut hangat oleh masyarakat dan kelompok pegiat hak asasi manusia. Bagi Pusat Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (PUSPAHAM), langkah ini adalah awal penting dalam ikhtiar panjang menyelesaikan konflik agraria yang telah membayangi daerah ini selama lebih dari 20 tahun.

Direktur PUSPAHAM, Kisran Makati, menilai bahwa keputusan tersebut menunjukkan adanya kepedulian terhadap penderitaan masyarakat yang selama ini mempertahankan tanah dan ruang hidup mereka dari ekspansi perusahaan. Menurutnya, ini bukan sekadar tanggapan atas jatuhnya korban dalam konflik, tapi juga sinyal keberpihakan moral dan politis terhadap warga yang selama ini nyaris tak bersuara.

Kisran mencatat setidaknya tiga hal yang patut diapresiasi dari langkah Bupati. Pertama, Tanggap Darurat yang Cepat. Menurut PUSPAHAM keputusan diambil dengan cepat sebagai respon atas eskalasi konflik, menunjukkan bahwa pemimpin daerah hadir di tengah-tengah warganya saat dibutuhkan. Kedua, pendekatan damai yang menyejukan, sebagai langkah menghindari tindakan represif dan membuka ruang dialog adalah pilihan bijak yang memberi harapan bahwa konflik ini bisa diselesaikan dengan cara-cara damai dan bermartabat.

Ketiga adalah Instruksi Koordinasi Lintas Pihak, Arahan untuk melakukan koordinasi lintas sektor membuka peluang terbentuknya ruang komunikasi yang inklusif—antara warga, pemerintah desa, kecamatan, aparat, hingga perusahaan.

Meski begitu, PUSPAHAM mengingatkan bahwa penghentian ini masih bersifat sementara. Kisran yang juga merupakan warga Konawe Selatan menekankan bahwa keputusan ini perlu terus dikawal agar tidak berhenti pada simbol politik belaka, tanpa menyentuh akar persoalan yang sebenarnya.

Salah satu sorotan utama adalah dugaan bahwa PT Marketindo Selaras belum memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) maupun Hak Guna Usaha (HGU) yang sah. Selain itu, riwayat hukum perusahaan ini pun menyisakan pertanyaan. Tanah yang saat ini dikuasai PT MS sebelumnya merupakan milik PT Sumber Madu Bukari (SMB), yang pada tahun 2003 dinyatakan wanprestasi. Aneh tapi nyata, lahan itu kemudian berpindah tangan ke PT BMP, lalu ke PT MS, tanpa proses legal yang transparan—dengan komoditas utama bahkan berubah dari tebu menjadi sawit secara sepihak.

Kisran juga menyoroti fenomena penggunaan warga sebagai “tameng sosial”, yang justru memperuncing konflik horizontal dan menutupi fakta bahwa inti permasalahan adalah ketimpangan vertikal antara rakyat dan korporasi.

Menurutnya, penegakan hukum pun sering kali hanya menyasar pelaku lapangan, tanpa menyentuh aktor struktural di balik konflik—baik dari pihak korporasi maupun birokrasi pemberi izin. Ini dinilai bisa memperpanjang siklus ketidakadilan.

PUSPAHAM menegaskan pentingnya memastikan agar penyelesaian konflik ini benar-benar berpihak pada keadilan. Lima poin utama yang harus dikawal adalah. Diantaranya adalah Audit Legalitas seluruh rantai kepemilikan dan penguasaan lahan dari PT SMB, PT BMP, hingga PT MS.

Pemulihan Hak Warga terdampak, baik yang menjadi korban kekerasan fisik maupun kebijakan struktural. Transparansi Proses Verifikasi, dengan melibatkan masyarakat desa, tokoh lokal, dan organisasi masyarakat sipil. Penegakan Hukum Tegas jika terbukti perusahaan beroperasi tanpa izin sah, terakhir Reformasi Tata Kelola Agraria secara menyeluruh di Konawe Selatan, termasuk evaluasi atas semua izin perkebunan yang telah diterbitkan.

Untuk memastikan penyelesaian konflik berjalan adil dan berkelanjutan, PUSPAHAM mendorong tiga hal. Yakni, pembentukan tim terpadu penyelesaian konflik agraria yang independen dan inklusif. Pendokumentasian Sejarah Konflik secara sistematis, sebagai pijakan kuat dalam advokasi dan kebijakan publik. Pemantauan Partisipatif, di mana warga dan kelompok masyarakat sipil aktif mengawasi setiap langkah penyelesaian konflik..

“Kasus PT MS bukan sekadar soal sengketa lahan,” tegas Kisran Makati. “Ini adalah ujian moral: berpihak pada warga yang mempertahankan hak hidupnya, atau pada korporasi yang beroperasi dengan melanggar hukum,”ujar Kisran Makati. (redaksi)

Pos terkait