KONAWE UTARA- Kala langit menggantung mendung di atas tanah Konawe Utara, hujan tak sekadar turun. Ia mengguyur seakan membawa kabar duka dari langit. Desa Samandete, yang biasanya tenang, kini dilanda riuh membanjiri badan jalan yang datang tanpa permisi. Air meluap, membawa lumpur dan ketakutan, melumpuhkan jalanan, dan memisahkan harapan banyak orang.
Pincara menjadi akses tranportasi terbatas yang digunakan. Rutinitas itu sudah berlangsung sepekan. Diayun oleh tangan-tangan cekatan demi mengurai kemacetan dijalur trans Sulawesi ditengah bencana banjir.
Namun di tengah gelisah itu, berdirilah para prajurit Kodim 1430/Konut. Tak bersenjatakan senapan, tapi hati. Mereka hadir bukan untuk berperang, melainkan untuk menjaga dan merawat, sekaligus menertibkan antrian panjang.
Di bawah komando Mayor Inf Umar Sachruna para serdadu ini menggelar kesigapan seperti doa yang dikirimkan bagi keselamatan banyak jiwa.
Sepatu mereka basah, bahkan tertanam lumpur, namun langkah mereka tak pernah gentar. Mereka membantu kendaraan yang terjebak, mengarahkan lalu lintas yang terputus, dan di sela-sela semuanya, menenangkan warga yang cemas dengan jeritan banjir yang setiap tahun menghantui.
“Ini bukan sekadar banjir,, tapi ini adalah panggilan jiwa,” ujar Mayor Umar, tatapannya menyapu jalanan yang kini berubah menjadi sungai. “Ini ujian bagi kita semua. Dan kami akan tetap berjaga, siaga dua puluh empat jam, sampai semua kembali seperti sedia kala,”katanya optimis
Bagi para pemudik yang ingin pulang, bagi para ibu yang menggendong anaknya mencari tempat aman, dan bagi lansia yang menatap horison penuh tanya, prajurit-prajurit ini adalah lentera di tengah badai.
Dan malam pun datang, gelap menggelayut. Tapi di Samandete, masih ada cahaya. Bukan dari lampu, melainkan dari jiwa-jiwa yang memilih tinggal dan menjaga mereka yang diam-diam telah menjadi penjaga harapan. (redaksi)