Skandal Agraria PT. Marketindo, Warga Tersingkir, Hukum Dibungkam

Skandal Agraria PT. Marketindo, Warga Tersingkir, Hukum Dibungkam

KONAWE SELATAN – Aksi penggusuran paksa kembali mencoreng wajah dunia usaha di Sulawesi Tenggara. PT. Marketindo, perusahaan perkebunan yang beroperasi di Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan, diduga melakukan penggusuran terhadap lahan keluarga almarhum Djubar Makati di Desa Lamooso, lahan warisan yang telah dikelola secara turun-temurun dan menjadi sumber penghidupan keluarga petani setempat.

Lahan seluas kurang lebih 60 are tersebut digusur menggunakan alat berat. Di atas lahan itu tumbuh sekitar 70 pohon pala, 200 pohon lada (merica), 15 pohon cengkeh, dan tujuh rumpun sagu yang kini rusak akibat pengerjaan sepihak tersebut.

“Ini bukan soal luas tanahnya, tapi soal harga diri kami sebagai pewaris sah tanah ini. Kami tidak akan tinggal diam ketika perusahaan berupaya memutus hubungan kami dengan tanah leluhur kami,” tegas Sudiran, salah satu ahli waris keluarga Djubar Makati.Skandal Agraria PT. Marketindo, Warga Tersingkir, Hukum Dibungkam

Menurut keterangan warga, penggusuran dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, tanpa dialog, dan tanpa pertimbangan kemanusiaan. Koordinator Hukum dan HAM PUSPAHAM Sulawesi Tenggara, Didi Hardiana, menilai tindakan PT. Marketindo sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap keadilan agraria.

“Selama lebih dari 30 tahun, PT. Marketindo beroperasi tanpa memiliki Hak Guna Usaha (HGU) yang sah. Legalitas usahanya kabur, sementara dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang digunakan diduga kuat manipulatif dan tidak kredibel,” ujar Didi.

Ia menambahkan, PT. Marketindo merupakan lanjutan dari serangkaian perusahaan bermasalah, seperti PT. SMB dan PT. BMP, yang seluruhnya beroperasi tanpa konsultasi publik, tanpa sosialisasi, serta tanpa persetujuan masyarakat.

Selain itu, PT. Marketindo juga secara sepihak mengubah fungsi lahan dari perkebunan tebu menjadi kelapa sawit tanpa memperoleh izin sosial (social license) dari warga.
Pola semacam ini, kata Didi, memperlihatkan praktik lama yang terus berulang, perampasan ruang hidup masyarakat melalui legalitas semu dan kekuasaan modal.

Ironisnya, perusahaan yang disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan jaringan bisnis besar milik Tommy Winata itu justru membeli lahan kecil seperti ini secara bawah tangan, tanpa mempertemukan keluarga pemilik sah dengan pihak penjual.
Akibatnya, masyarakat yang kehilangan tanah kini terpaksa menjadi buruh di atas tanah sendiri, potret getir dari kebijakan negara yang dianggap membiarkan kesewenang-wenangan korporasi.

Kasus di Desa Lamooso ternyata bukan satu-satunya. Di atas lahan seluas sekitar 1.300 hektare yang tersebar di delapan desa sekitar, masyarakat kini melakukan reaklaiming (pengambilalihan kembali) karena lahan tersebut juga dikuasai tanpa dasar hukum yang sah dan telah lama terbengkalai.

Situasi ini menegaskan bahwa konflik antara PT. Marketindo dan warga bersifat sistemik, bukan insiden tunggal yang dapat diselesaikan secara administratif belaka.

PUSPAHAM Sultra menegaskan agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berhati-hati dan tidak serta-merta menerbitkan izin atau usulan HGU baru bagi PT. Marketindo. Pemberian izin baru kepada perusahaan dengan rekam jejak pelanggaran agraria hanya akan memperpanjang rantai ketidakadilan dan penderitaan masyarakat.

Ada sejumlah tuntutan masyarakat terhadap kegiatan PT Marketindo, diantaranya masyarakat mendesak menghentikan seluruh aktivitas PT. Marketindo di wilayah yang bermasalah. Melakukan audit hukum dan penertiban lahan atas seluruh wilayah yang dikuasai perusahaan. Kementerian Lingkungan Hidup diminta melakukan audit terhadap dugaan pelanggaran AMDAL serta dampak lingkungan akibat penggusuran serta Penegak hukum diminta menindak tegas setiap bentuk pelanggaran yang merugikan masyarakat dan lingkungan selama bertahun-tahun.

“Tanah bukan sekadar aset, tanah adalah identitas, sejarah dan sumber kehidupan masyarakat tani. Penggusuran hari ini menambah daftar panjang luka sosial akibat kerakusan korporasi yang dibiarkan tanpa kendali,” pungkas Didi Hardiana. (Redaksi)

Pos terkait